
Jakarta, – Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang telah resmi berlaku sejak 24 Februari 2025 terus menuai kontroversi di tengah masyarakat. Sorotan utama tertuju pada Pasal 9G dalam UU tersebut, yang secara eksplisit menyatakan bahwa direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Ketentuan ini memicu kekhawatiran bahwa para petinggi BUMN akan menjadi kebal hukum, terutama dari jeratan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menanggapi kegaduhan tersebut, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI, Eddy Soeparno, angkat bicara. Ia menegaskan bahwa keberadaan UU BUMN yang baru tidak serta-merta menjadikan direksi perusahaan pelat merah imun terhadap proses hukum.
“Saya kira tidak, ini kan negara hukum, nggak ada yang kebal hukum,” ujar Eddy Soeparno di Jakarta, Jumat (9/5/2025). Pernyataan ini ia sampaikan untuk meredam kekhawatiran publik terkait potensi pelemahan pemberantasan korupsi di lingkungan BUMN pasca-berlakunya UU tersebut.
Kontroversi Pasal 9G UU BUMN memang cukup beralasan. Dengan status direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN yang tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara, muncul interpretasi bahwa KPK akan kehilangan kewenangannya untuk menangani dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan mereka. Hal ini karena salah satu syarat subjek hukum yang dapat ditangani KPK adalah penyelenggara negara.
Kekhawatiran ini salah satunya disuarakan oleh Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM). Pukat UGM menilai bahwa ketentuan tersebut berpotensi membuat KPK tidak bisa menjerat direksi BUMN yang terlibat dalam praktik korupsi. “Kalau ini bukan penyelenggara negara artinya tidak bisa ditangani oleh KPK,” demikian pernyataan dari Pukat UGM yang menyoroti dampak serius dari pasal kontroversial tersebut.
Bahkan, ancaman untuk membawa UU BUMN ini ke ranah uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) pun telah mengemuka. Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI), Boyamin Saiman, secara tegas menyatakan kesiapannya untuk mengajukan gugatan ke MK jika pasal yang mengecualikan direksi BUMN sebagai penyelenggara negara tidak segera direvisi.
“Kalau ini tidak segera diubah ya kita akan maju ke Mahkamah Konstitusi untuk mengubahnya dan saya siap untuk maju ke MK membatalkan ketentuan pasal ini bahwa apapun berasal dari negara apabila kemudian penyimpangan terhadap pasal negara ya korupsi,” tegas Boyamin. Ia berpendapat bahwa segala bentuk penyimpangan yang melibatkan aset dan keuangan negara, termasuk di BUMN, harus tetap dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi yang dapat ditindak oleh aparat penegak hukum, termasuk KPK.
Meskipun demikian, beberapa pihak dari parlemen, seperti anggota Komisi VI DPR RI, berpendapat bahwa aparat penegak hukum lainnya, seperti Kejaksaan dan Kepolisian, tetap memiliki kewenangan untuk menjerat direksi BUMN yang terbukti melakukan korupsi, sekalipun mereka tidak lagi berstatus sebagai penyelenggara negara. Anggota DPR RI Fraksi Gerindra, Kawendra Lukistian, juga menyatakan bahwa KPK tetap memiliki kewenangan dalam konteks tertentu.
Eddy Soeparno dari MPR RI sejalan dengan pandangan bahwa penegakan hukum harus tetap berjalan tanpa pandang bulu. Ia menekankan prinsip dasar negara hukum Indonesia, di mana tidak seorang pun boleh merasa kebal terhadap jeratan hukum jika terbukti melakukan pelanggaran. Pernyataannya ini diharapkan dapat sedikit menenangkan kegelisahan publik seraya menunggu perkembangan lebih lanjut terkait implementasi dan potensi revisi UU BUMN yang baru ini.
Polemik UU BUMN Nomor 1 Tahun 2025 ini dipastikan akan terus bergulir, terutama terkait interpretasi dan implikasi hukum dari Pasal 9G. Respons dari berbagai lembaga penegak hukum seperti Kejaksaan Agung dan KPK, serta kalangan akademisi, akan terus dinantikan untuk melihat bagaimana UU ini akan diterapkan dalam praktik pemberantasan korupsi di sektor BUMN ke depan. Masyarakat berharap agar semangat pemberantasan korupsi tidak surut dan akuntabilitas pengelolaan BUMN sebagai aset negara tetap terjaga.